URUMQI, Warga Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut, berbicara dalam sebuah konferensi pers pada Kamis (2/12) menggunakan cerita mereka sendiri untuk menyanggah apa yang disebut “genosida budaya” dan “penindasan etnis minoritas” di kawasan tersebut, yang direka-reka oleh kekuatan anti-China di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Barat lainnya.
Wurken berasal dari keluarga multietnis di Kota Tacheng dengan anggota keluarga dari etnis Han, Kazak, Kirgiz, dan Mongolia.
Dia mengatakan selain festival tradisional China, seperti Festival Musim Semi dan Festival Perahu Naga, mereka juga merayakan Festival Nowruz dan Festival Corban.
Walaupun anggota keluarganya berasal dari kelompok etnis yang berbeda serta memiliki adat kebiasaan hidup yang berbeda, mereka saling menghormati dan menghargai satu sama lain, ujarnya.
“Istri saya berasal dari etnis Mongolia, dan daging domba rebus menjadi hidangan istimewanya. Kakak ipar kedua saya berasal dari etnis Kazak, dan mengasapi usus kuda menjadi ‘keahlian uniknya.’ Kakak ipar saya berasal dari etnis Han, dan ikan rebus masakannya sungguh populer,” tutur Wurken.
Banyak kelompok etnis telah mendiami Xinjiang sejak zaman kuno. Orang-orang dari semua kelompok etnis yang hidup di Xinjiang memiliki hubungan yang erat dan saling bergantung. Sebagai contohnya, Kota Tacheng. Dari 330.000 keluarga di sana, lebih dari 11.000 keluarga di antaranya masing-masing memiliki dua atau lebih anggota keluarga dari kelompok etnis yang berbeda.
Xinjiang selalu menghormati serta melindungi berbagai kebudayaan rakyat dan secara efektif melindungi maupun mewariskan kebudayaan tradisional dari semua kelompok etnis.
Festival Saban merupakan festival tradisional dari kelompok etnis Tatar. Festival tersebut dimasukkan ke dalam daftar proyek perlindungan dan warisan budaya takbenda nasional China pada 2008.
Tenna Kalimwa, seorang perwakilan pewaris Festival Saban, mengatakan bahwa festival tersebut dirayakan setiap tahun dan pengaruhnya kini kian berkembang. Semakin banyak orang peduli pada kebudayaan Tatar dan berpartisipasi dalam riset, pewarisan, maupun publisitasnya.
“Negara mendukung perlindungan kebudayaan tradisional etnis minoritas dan menyediakan kondisi yang bagus untuk melaksanakan tradisi kami. Siapa yang sudah melihat ‘genosida’ ini? Kebohongan jahat pada akhirnya akan runtuh di hadapan fakta,” kata Tenna Kalimwa.
Para partisipan dalam konferensi pers tersebut mengatakan bahwa kekuatan anti-China di AS dan beberapa negara Barat menutup telinga dan membutakan mata mereka terhadap kemajuan perkara hak asasi manusia di China. Mereka belum pernah berkunjung ke Xinjiang dan tidak mengetahui situasi yang sebenarnya di Xinjiang. Mereka menuding “genosida budaya” terjadi di Xinjiang dengan dalih “pelanggaran hak asasi manusia.” Upaya mereka untuk merusak stabilitas di Xinjiang akan sia-sia. [Xinhua]