ASIA TIMUR – Pemulihan kawasan Asia Timur dan Pasifik telah dirusak oleh penyebaran varian Delta COVID-19, ungkap Bank Dunia pada Senin (27/9), seraya menyerukan strategi komprehensif untuk membendung COVID-19 dan mendorong pertumbuhan inklusif.
Kegiatan ekonomi mulai melambat pada kuartal kedua tahun 2021, dan proyeksi pertumbuhan telah diturunkan untuk sebagian besar negara di kawasan tersebut, menurut East Asia and Pacific Fall 2021 Economic Update yang baru saja dirilis oleh Bank Dunia.
“Sementara pada 2020 kawasan tersebut berhasil mengendalikan COVID-19 di saat kawasan-kawasan lain di dunia bersusah payah membendungnya, peningkatan kasus COVID-19 pada 2021 telah menurunkan prospek pertumbuhan untuk tahun 2021,” ujar Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Manuela Ferro.
Meski perekonomian China diproyeksikan tumbuh sebesar 8,5 persen, naik 0,4 poin persentase dari proyeksi April, perekonomian lainnya di kawasan tersebut diperkirakan tumbuh 2,5 persen, 1,9 poin persentase lebih rendah dari perkiraan pada April, tunjuk laporan itu.
Menyebut bahwa adanya perbedaan situasi di masing-masing negara, Aaditya Mattoo, kepala ekonom untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik di Bank Dunia, mengatakan kepada Xinhua dalam wawancara jarak jauh pada Senin bahwa beberapa negara seperti China relatif berhasil dalam, setidaknya, mencegah penyebaran virus ini. Namun, negara-negara lain yang sebelumnya telah melakukannya dengan baik, khususnya seperti Vietnam dan Malaysia, kini kesulitan mengendalikannya dan mengalami kontraksi yang “signifikan” dalam aktivitas perekonomian.
Negara-negara lain seperti Filipina dan Indonesia, lanjutnya, sejak sebelumnya sudah berjuang keras dan perjuangan mereka “semakin parah”, sehingga mereka juga mengalami kontraksi dalam aktivitas perekonomian dan proyeksi pertumbuhan mereka pun semakin kurang menjanjikan dibanding sebelumnya.
Tingkat ketenagakerjaan dan partisipasi tenaga kerja menurun, dan sebanyak 24 juta orang di kawasan tersebut tidak akan dapat keluar dari kemiskinan pada 2021, papar laporan itu, seraya memperingatkan bahwa “bekas luka” pandemi kemungkinan akan melemahkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Meski semua rumah tangga menderita akibat pandemi, warga yang lebih miskin lebih mungkin kehilangan pendapatan, menjual aset produktif, menderita kerawanan pangan, dan kehilangan pendidikan untuk anak-anak, menurut laporan itu.
Menyebut bahwa prioritas tertinggi adalah berupaya mengekang penyebaran penyakit ini, Mattoo mendesak para pembuat kebijakan untuk meningkatkan laju vaksinasi, mengingat strategi seperti tes COVID-19, pelacakan, isolasi, disertai kombinasi penutupan tertarget dan jaga jarak sosial terbukti “kurang efektif” terhadap varian yang sangat mudah menular.
Laporan baru itu memperkirakan bahwa sebagian besar negara di kawasan tersebut dapat memvaksinasi lebih dari 60 persen populasi mereka hingga paruh pertama 2022, yang secara signifikan akan mengurangi angka kematian, memungkinkan dimulainya kembali kegiatan ekonomi.
“Jadi hal pertama yang perlu dilakukan adalah berusaha memastikan ada cukup produksi (vaksin) global dan mungkin bahkan memperluas produksi regional sehingga Anda tidak perlu bergantung pada pasokan yang tidak dapat diandalkan,” tutur Mattoo. Lebih lanjut dia menyerukan “strategi tiga cabang”, yakni meningkatkan pasokan, meningkatkan distribusi, dan meyakinkan orang-orang bahwa vaksinasi adalah hal yang dibutuhkan secara sosial dan individual.
Diproduksi oleh Xinhua Global Service. [XHTV]