CHICAGO – Para peneliti di Fakultas Teknik Molekuler Pritzker dan Laboratorium Nasional Argonne Universitas Chicago (UChicago) menemukan bahwa obat Masitinib kemungkinan efektif dalam mengobati COVID-19.
Para peneliti itu memulai studi dengan menyaring daftar 1.900 obat yang aman secara klinis untuk melawan OC43, jenis virus corona berbeda yang menyebabkan flu biasa dan dapat dipelajari dalam kondisi keamanan hayati reguler. Mereka kemudian menguji lebih dari 30 kandidat obat teratas dalam kultur sel terhadap virus SARS-CoV-2. Kandidat obat tersebut lalu dikirim ke kolaborator lain untuk diuji dalam melawan 3CL protease, enzim dalam virus corona yang memungkinkan virus itu bereplikasi di dalam sebuah sel.
Para peneliti menemukan bahwa dari kandidat-kandidat obat itu, Masitinib sepenuhnya menghambat enzim virus 3CL di dalam sel, sebuah fakta yang dikonfirmasi melalui kristalografi sinar-X. Obat ini secara khusus mengikat pada lokasi aktif 3CL protease dan menghambat replikasi virus itu lebih lanjut.
Selanjutnya, para peneliti menguji obat itu pada model tikus. Mereka menemukan Masitinib mengurangi jumlah virus (viral load) SARS-CoV-2 hingga lebih dari 99 persen dan mengurangi tingkat sitokin inflamasi pada tikus.
Secara paralel, para peneliti mulai menguji Masitinib dalam kultur sel terhadap virus lain dan menemukan bahwa obat ini juga efektif dalam melawan picornavirus, yang meliputi Hepatitis A, polio, dan rhinovirus yang menyebabkan flu biasa.
Mereka juga mengujinya dalam kultur sel terhadap tiga varian SARS-CoV-2, yaitu Alpha, Beta, dan Gamma, dan menemukan Masitinib menunjukkan hasil yang sama dalam melawan varian-varian tersebut karena obat ini mengikat pada protease dan bukan pada permukaan virus.
Para peneliti sedang bekerja sama dengan perusahaan farmasi yang mengembangkan Masitinib untuk mengubahnya menjadi obat antivirus yang lebih efektif. Sementara itu, Masitinib sendiri dapat diuji klinis pada manusia di masa depan untuk pengobatan COVID-19.
“Masitinib memiliki potensi untuk menjadi obat antivirus yang efektif saat ini, terutama ketika seseorang pertama kali terinfeksi, dan sifat antivirus dari obat ini akan memiliki efek terbesar,” kata Nir Drayman, postdoctoral fellow yang berspesialisasi dalam virologi. “Ini bukanlah wabah virus corona baru yang pertama, dan juga tidak akan menjadi yang terakhir. Selain vaksin, kita perlu memiliki pengobatan baru yang tersedia untuk membantu mereka yang telah terinfeksi.”
Meskipun Masitinib saat ini hanya disetujui penggunaannya untuk mengobati tumor sel mast pada anjing, obat tersebut telah diuji klinis pada manusia untuk beberapa penyakit, termasuk melanoma, penyakit Alzheimer, sklerosis ganda, dan asma. Masitinib telah terbukti aman pada manusia namun tetap memiliki efek samping, seperti gangguan gastrointestinal dan edema, serta berpotensi meningkatkan risiko penyakit jantung pada pasien.
Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Science pada Selasa (20/7). [Xinhua]