Oleh: J Kristiadi
SESANTI Negara Kesatuan Republik Indonesia harga mati bukan sekadar rangkaian kosakata mati. Semangat membangun negara kesatuan dalam masyarakat yang sangat beragam tetap menyala sejak kemerdekaan RI hingga kini. Bahkan, gelombang kedua tsunami pandemi Covid-19 menerjang Ibu Pertiwi dan merenggut nyawa puluhan ribu warga, kobaran api spirit saling merasakan derita sesama semakin menjadi-jadi.
“Dari perspektif empirik, hampir setiap bencana nasional menimpa Indonesia, masyarakat memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi berbela rasa.”
Hampir setiap hari kabar menggembirakan semarak tersebar di sejumlah media arus utama dan media sosial yang menarasikan masyarakat saling bahu-membahu meringankan beban para penderita Covid-19. Semangat gerakan solidaritas sosial tecermin dari kegairahan masyarakat sipil, seperti organisasi keagamaan, sivitas akademika, dan para pengusaha, memberikan sumbangsih. Bahkan, bantuan mengalir dari prakarsa individual di tingkat RT/RW merebak di mana-mana. Selain itu, puluhan ribu sukarelawan yang dibentuk Satgas Covid-19 dan masyarakat tidak terhitung banyaknya. Tak sedikit mereka berjibaku dan “bekerja kesetanan” mempertaruhkan nyawa menyelamatkan para penderita Covid -19.
Dari perspektif empirik, hampir setiap bencana nasional menimpa Indonesia, masyarakat memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi berbela rasa. Misalnya, tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 yang menelan korban ribuan jiwa melayang serta tsunami di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, tahun 1979 korban meninggal hampir 400 orang (Herald Tribune, 24 Juli 1979). Bantuan masyarakat dari segala penjuru Tanah Air membanjiri kedua wilayah tersebut melintasi sekat-sekat primordial. Diharapkan spirit ini tidak hanya berlangsung secara episodik, tetapi terpatri dan membatin di setiap sanubari warga masyarakat. Negara wajib melakukan intervensi positif melalui kebijakan yang otoritatif agar roh dan modal sosial menjadi semakin melembaga.
Pencermatan terhadap peristiwa empirik tersebut menunjukkan daya lenting spirit dan gelora rasa senasib seperjuangan masih membara. Saling merasakan dan berbagi derita semakin menguatkan dan menyuburkan modal sosial sebagai bagian dari proses membangsa. Pandemi Covid-19 justru menyulut api karunia spirit kebangsaan.
Namun, harus diakui, masyarakat mulai menunjukkan gejala kelelahan akibat gempuran pageblug Covid-19 yang melanda hampir semua kawasan Nusantara. Pandemi kali ini nyaris meludeskan deposit stamina dan spirit vitalitas masyarakat, terutama kelas bawah yang sangat rentan terhadap gejolak krisis perekonomian nasional. Munculnya femonena tersebut dapat dipahami karena keganasan virus korona tidak hanya menyerang tubuh manusia, tetapi juga mempunyai dampak psikis, terutama karena wabah Covid-19 belum dapat diprediksi kapan dapat dikendalikan sepenuhnya.
Akibatnya, masyarakat menjadi cemas, khawatir, gamang, takut, tegang, serta skeptik sehingga mudah mengidap Angst Psychose; kecemasan kolektif yang disebabkan tingkat kegelisahan yang tinggi. Bahkan, tidak mungkin sebagian masyarakat menderita social anxiety disorder atau fobia sosial, takut dan cemas ketemu orang.
Sementara itu, kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, hasil pemikiran yang diramu dari kompleksitas permasalahan dan pengalaman kerja keras pemerintah menangani pandemi Covid-19, dianggap tidak efektif. Mungkin bagus di atas kertas, tetapi pada tataran pelaksanaan di lapangan mengecewakan, terutama di daerah-daerah.
Para kepala daerah sebagai aktor penting dalam mengendalikan wabah di daerah masing-masing dirasakan kurang cakap dan kompeten. Kejengkelan terhadap mutu kepala daerah secara terbuka berkali-kali dilakukan, antara lain oleh Komarudin Watubun. Ia melampiaskan kejengkelannya dengan mengingatkan partai politik agar menyiapkan kader-kader yang kompeten dan cakap dalam pilkada agar apabila terpilih, mereka mampu melaksanakan regulasi yang disusun dengan susah payah (Kompas, 13/2021).
“Karena tidak disertai dengan niat politik yang kuat, semua gagasan sehat dan rasional lenyap diterpa gelombang kepentingan kekuasaan.”
Tingkat efektivitas pemerintah menangani wabah Covid-19 tidak dapat maksimal, membuka tabir bahwa negara ini salah urus, mismanagement. Yudi Latif mewacanakan negara perlu ditata ulang (Kompas, 15/7/2021). Pemikiran yang sama banyak bermunculan dari berbagai kalangan, termasuk para politisi dan unsur pemerintah.
Namun, karena tidak disertai dengan niat politik yang kuat, semua gagasan sehat dan rasional lenyap diterpa gelombang kepentingan kekuasaan. Penyebabnya amat mendasar. Perubahan politik pascareformasi sangat cepat, terutama agenda kontestasi poilitik, sehingga tidak dapat dikejar oleh proses pelembagaan institusi politik, negara, dan pemerintahan. Maka, siapa pun presidennya, meskipun memegang kekuasan tertinggi pemerintahan, tidak mampu mengeksekusi otoritasnya sesuai konstitusi.
Oleh sebab itu, para aktor non-negara harus mengisi kelemahan sistem politik yang kacau-balau. Kabar menggembirakan terakhir (19/7/2021), yang sangat diharapkan mampu menanggulangi pandemi lebih cepat, adalah Tashih Majelis Ulama Indonesia. Pemerintah bersama MUI dan ormas Islam bahu-membahu menanggulangi Covid-19. Tekad yang merupakan bagian dari rangkaian ziarah bangsa Indonesia menapak serta mengasah rasa senasib seperjuangan.
Semua komponen bangsa merajut keragaman guna menegaskan jati diri bangsa yang bineka, tetapi tetap eka, bersatu padu mewujudkan kebahagiaan bersama. Dalam ajaran Sultan Agung belasan abad yang lalu, niat mulia semacam itu disebut mengasah mingising budi, memasuh malaning bumi. Maknanya, mengasah ketajaman akal-budi, membasuh malapetaka bumi.[]