Oleh : J Kristiadi
MENGAPA merayakan Tahun Baru? Padahal, momentum pergantian tahun tidak berbeda dengan peralihan hari-hari yang lain. Fenomena tarian perputaran Bumi di atas sumbunya sembari mengitari Matahari telah berlangsung ribuan, bahkan jutaan tahun. Setiap perputaran memerlukan waktu 24 jam.
Apabila rotasi mencapai 365 kali, disebut satu tahun. Peralihan dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari adalah peristiwa alamiah semata.
Jawaban mendasar terhadap pertanyaan di atas antara lain diberikan Aristoteles dalam /Buku Fisika/ (/Physics Book/) /IV/, Bab 10-14; ”What Is Time?: On Aristotle’s Definition of Time”. Ia mendefinisikan waktu sebagai sejumlah perubahan berkenaan dengan ”sebelumnya” (/before/) dan ”sesudahnya” (/after/). Oleh karena itu, waktu secara fundamental berkaitan dengan perubahan dan gerak. Jelasnya, waktu merupakan serangkaian gerak perubahan dari masa lampau ke masa yang akan datang.
Bertitik tolak dari pemahaman itu, pesta pergantian tahun tidak merayakan fenomena alam, tetapi merayakan harapan masa akan datang lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Agar dapat menyelami makna tersebut, diperlukan kompetensi berkontemplasi supaya peristiwa masa lalu dapat dijadikan modal refleksi dan introspeksi menyempurnakan kehidupan selanjutnya.
Nuansa pesta pergantian tahun kali ini, selain dirayakan dengan kegembiraan, sangat dirasakan pula semangat solidaritas, empati, dan suasana duka yang mendalam terhadap ratusan korban musibah tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, serta jatuhnya pesawat AirAsia di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Suasana pergantian tahun dirasakan semakin khidmat dengan diselenggarakannya zikir nasional untuk bermuhasabah yang diikuti ribuan peserta.
Dengan ibadah tersebut, masyarakat semakin disadarkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Kegembiraan harus disertai empati yang tinggi terhadap warga lain yang miskin, kurang beruntung, terlebih yang sedang menerima musibah. Pergantian tahun juga semakin bermakna dengan prakarsa Komite Perdamaian Dunia yang menyelenggarakan acara bertema ”Persatuan dan Kebinekaan Budaya Indonesia” (/Kompas/, 2/1). Diharapkan tahun 2015 merupakan kebangkitan peradaban dan budaya sebagai panglima membangun dunia yang berkesinambungan.
Berbekal semangat tersebut, semua komponen bangsa perlu merenungkan agenda politik ”membangsa”, proses menjadi bangsa, dan ”menegara”, proses mengelola kekuasaan yang beradab untuk mewujudkan kebahagiaan bersama. Momentum ini sangat penting mengingat proses membangun bangsa yang bineka sekaligus eka tahun 2014 diwarnai meningkatnya intoleransi dan semakin tertekannya kelompok-kelompok marjinal, baik dalam perspektif religiositas maupun sosial-ekonomi.
Bahkan, di Yogyakarta, ikon masyarakat yang sangat toleran, menurut laporan tahunan The Wahid Institute tahun 2014, berada di peringkat kedua dalam prestasi intoleransi, terutama berkenaan dengan kebebasan beragama dan mengekspresikan keyakinan (/The Jakarta Post/, 2/1).
Pemerintah daerah dan kepolisian dianggap melanggar hak asasi warga karena tak mampu melindungi warganya melaksanakan hak-hak beragama serta kepercayaan mereka. Proses membangsa juga sangat terganggu dengan pertarungan politik tahun 2014 yang masih mengeksploitasi sentimen primordial sebagai instrumen mengumpulkan suara.
Dalam proses menegara, pertarungan kekuasaan yang membabi buta masih berlangsung. Parlemen terbelah dalam dua kubu, Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. Adapun partai politik, selain semakin oligarkistis, juga mengidap perpecahan dan dekonsolidasi. Sebagian besar politisi ibaratnya bukan hanya penikmat kekuasaan, melainkan juga pemadat nikmat kuasa yang sudah kehilangan kendali moral, etika, perilaku juga hati serta peradaban dan absennya kemauan baik serta rasa malu. Kedaulatan rakyat dikerdilkan maknanya sekadar Demokrasi Esoteris (/Esoteric Democracy/). Demokrasi yang ditafsirkan segelintir orang sesuai dengan interes mereka.
Namun, bukan berarti politik membangsa dan menegara tanpa harapan. Dalam hal pertama, respons masyarakat atas musibah tanah longsor di Banjarnegara, pesawat AirAsia, dan musibah lain membuktikan tingkat empati publik serta solidaritas sosial masyarakat masih tinggi. Sikap berbela rasa, rasa-merasakan, dalam hidup bersama terawat baik. Suasana kebatinan kolektif itu adalah modal andal melanjutkan proses membangsa menuju masyarakat yang bahagia.
Dalam proses menegara, kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, meskipun baru sekitar tiga bulan dan masih terdapat berbagai kekurangan, telah menunjukkan simtom-simtom kebijakan yang menjanjikan. Pertama, menguraikemaceten serta silang sengkarut manajemen dan tumpang tindih birokrasi tidak dengan mengucap mantra /debottlenecking/ (mengurai kemacetan), tetapi terjun ke lapangan dan membuat kebijakan untuk dieksekusi, misalnya kebijakan membentuk Badan Keamanan Laut serta membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi untuk memberantas mafia migas.
Kedua, keberanian mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke sektor pembangunan infrastruktur.
Dengan kebijakan yang memihak rakyat, apabila dilakukan konsisten disertai transparansi dan akuntabilitas, proses menegara tahun 2015 dapat menjadi modal penting membangun kehidupan politik yang memuliakan kekuasaan. Bangsa Indonesia pun menapak tahun 2015 dengan kepala tegak dan optimistis serta pantang menyerah untuk mewujudkan bangsa bahagia dan sejahtera.[]
Pernah dipublikasikan di KOMPAS Selasa, 06-01-2015.