Oleh : J Kristiadi
SETIAP orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (Pasal 28 Huruf H Ayat 2 UUD 1945)
Salah satu asas yang bersemayam dalam kehidupan demokrasi adalah kesetaraan. Semua warga negara mempunyai hak yang sama tanpa membedakan status, struktur sosial, ciri-ciri primordial, maupun identitas eksklusif lainnya. Namun, dalam praktik, mewujudkan keutamaan itu tidak semudah merumuskan dalam konstitusi.
Negara-negara yang konstitusinya menjamin kesederajatan warga negaranya, masih sedemikian banyak hambatan dalam merealisasikannya. Namun, jenis kesenjangan yang mempunyai prevalensi universal dan mempunyai akar sejarah, budaya, adat istiadat, religi, serta normalokal adalah ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam mewujudkan kesetaraan jender relatif tidak seberat dibandingkan dengan banyak negara lain di dunia. Dalam perspektif politik, bahkan perempuan Indonesia jauh lebih cepat memperoleh hak-hak politiknya dibandingkan dengan negara yang dianggap sebagai kampiun demokrasi, Amerika Serikat. Di negara itu, kaum perempuan memerlukan perjuangan sekitar 60 tahun untuk memperoleh hak pilih. Adapun perempuan Indonesia sejak pemilu pertama kali dilakukan tahun 1955, hak memilih telah dimilikinya.
Bahkan, dengan terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kemajuan perjuangan lebih signifikan karena UU itu menegaskan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, daftar bakal calon anggota legislatif (caleg) paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan (Pasal 53). Kedua, daftar caleg disusun berdasarkan nomor urut (Pasal 55 Ayat 1). Ketiga, dalam daftar caleg setiap tiga orang terdapat sekurang-kurangnya satu orangperempuan (Pasal 55 Ayat 2). Ketentuan itu sama spiritnya dengan Pasal 2 Ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menegaskan persyaratan menyertakan paling rendah 30 persen keterwakilan perempuan kepengurusan tingkat pusat.
Namun, harapan itu kandas karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, penyusunan daftar caleg masih banyak menempatkan caleg perempuan tidak sesuai dengan UU pemilu legislatif. Kedua, yang lebih dramatis, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) akhir Desember 2008 membatalkan Pasal 214 UU No 10/2008 mengenai penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut karena bertentangan dengan UUD 1945.
Konsekuensinya, caleg yang berhak mendapatkan kursi adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dalam suatu daerah pemilihan. Putusan itu disambut gembira oleh mereka yang selama ini menganggap parpol terlalu oligarkis, bahkan cenderung ke arah pembentukan dinasti politik. Selain itu, keputusan tersebut menumbuhkan harapan karena pemilih setidaknya tak lagi dipaksa hanya memilih caleg yang urutannya sudah ditentukan pimpinan parpol. Sistem itu terbukti menghasilkan lembaga perwakilan yang kurang aspiratif, akuntabel, dan menghasilkan kebijakan publik hanya berorientasi pada kepentingan pribadidan kelompok.
Kader parpol yang selama ini mengandalkan dukungan pimpinan parpol sehingga memperoleh nomor urut kecil sangat kecewa. Demikian pula kader parpol yang oleh pimpinan partainya dianggap berprestasi, tetapi tidak populer karena terfokus pada tugas internal partai, merasa sangat dirugikan. Selain itu, persaingan memperebutkan pemilih tidak hanya terjadi antara kader parpol melawan kader parpol lain, bahkan tidak mustahil pula persaingan yang saling mematikan di antara kader sesama partai.
Terlepas dari kontroversi keputusan itu, dampak yang memprihatinkan adalah hilangnya hak konstitusional perempuan Indonesia. UU pemilu legislatif secara tegas menyatakan perempuan Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan diskriminatif positif. Ketentuan itu mempunyai dasar yang kuat dalam Pasal 28 Huruf H UUD 1945, sebagaimana dikutipkan di atas. Pasal itu selain merupakan niat yang luhur untuk meningkatkan derajat dan martabat perempuan Indonesia, juga pengakuan bangsa Indonesia, masih terjadi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, diperlukan tindakan atau kebijakan khusus sementara, dengan memberikan kuota 30 persen, agar perempuan Indonesia mempunyai akses yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dengan demikian, kebijakan diskriminatif positif adalah konstitusional sehingga nomor urut seharusnya untuk sementara hanya berlaku bagi caleg laki-laki. Sebab itu, sudah seharusnya parpol konsisten dan mengupayakan agar keputusan MK tidak mengandaskan hak konstitusional perempuan Indonesia. Alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui mekanisme internal partai. Pimpinan parpol memisahkan perolehan caleg perempuan dan laki-laki.
Dengan mempergunakan Pasal 218 UU No 10/2008 tentang pergantian calon terpilih, pimpinan parpol mengambil kebijakan agar setiap daerah pemilihan yang memperoleh tiga kursi, satu kursi diberikan kepada caleg perempuan yang memperoleh jumlah suara terbanyak. Mekanisme yang dapat dilakukan adalah caleg laki-laki dengan jumlah suara ketiga terbanyak mengundurkan diri. Tindakan khusus ini perlu dilakukan karena posisi politik perempuan Indonesia belum setara dengan dominasi patriarki di Indonesia.
Oleh sebab itu, sangat disayangkan sikap sementara elite parpol yang mengancam akan mencabut pasal mengenai kuota perempuan dalam UU Pemilu Legislatif tahun 2014 kalau perempuan tidak dapat menyediakan 30 persen caleg perempuan. Sikap elite parpol itu harus memperteguh pejuang perempuan agar tetap gigih memperjuangkan kesetaraan. Selamat berjuang perempuan Indonesia, tak ada istilah kalah dan menyerah dalam perjuangan. []
Pernah dipublikasikan di KOMPAS, 27 Januari 2009.