WARTABUANA – Pemeran utama Film Tjoet Nja’ Dhien mempertanyakan kebijakan pihak Cinema XXI yang menggeser film yang dibintanginya demi memutar film impor. Atas kejadian itu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pemilik usaha bioskop memberikan keberpihakannya kepada peredaran film nasional.
Film Tjoet Nja’ Dhien sebagaimana dikatakan Christine Hakim, terbukti menjadi ruang menyatukan rasa seluruh orang Indonesia. Karena film yang pernah mendapatkan delapan (8) piala Citra dalam FFI 1988 arahan sutradara Erros Djarot ini berbicara tentang perjuangan dan semangat keindonesiaan. Sehingga film ini berhasil menyatukan rasa kebangsaan.
Bukti konkritnya, hampir semua pemimpin partai politik dari berbagai latar belakang politik di Indonesia, telah menonton film ini. Dari pimpinan partai PKB, PKS dan PAN, sejak film ini diputar kembali, setelah direstorasi di Belanda, mulai tanggal 20 Mei, lalu.
Bahkan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, seperti Menteri BUMN Erick Thohir, Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.A.P. (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia), Ida Fauziyah, M.Si. (Menteri Ketenagakerjaan), Dr. Sofyan A. Djalil (Menteri Agraria dan Tata Ruang) dan Sandiaga Salahuddin Uno (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) telah memberikan kesaksian positif atas rilis ulangnya film Tjoet Nja’ Dhien.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan keluarga juga tak ketinggalan telah menonton film ini. Apalagi masyarakat Aceh dengan bendera Aceh Connection-nya.
Singkatnya, film Tjoet Nja’ Dhien benar-benar berhasil menghimpun banyak penonton sejak diputar ulang. Menjadi ruang penyatuan masyarakat Indonesia.
Karena itu, Christine Hakim mengaku sempat tak habis pikir begitu mengetahui satu layar film Tjoet Nja’ Dhien diturunkan atau sengaja dikorbankan, oleh pihak Cinema XXI demi satu judul film film asing. Yang harus menggunakan empat sampai lima layar dalam satu bioskop untuk memutar film import.
Apa yang dirasakan Christine Hakim dirasakan juga oleh Erros Djarot. Menurut Erros, apa yang dilakukan pihak Cinema XXI/21 berlebihan atas penurunan satu layar film Tjoet Nja’ Dhien di PIM XXI.
“Tidak masuk akal dan tidak mempunyai empati, atau tidak sejurus dengan anjuran kampanye pemerintah. Yaitu datang ke bioskop menonton film nasional. Bolehlah menayangkan satu judul film asing diputar di empat atau lima layar di satu bioskop, tapi tak perlu juga sampai mengorbankan satu buah layar yang memutar film nasional,” kata Erros Djarot seusai nobar film Tjoet Nja’ Dhien bersama Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno di PS Jakarta, Minggu (30/5/2021).

Ketidakmengertian dan kekecewaan Christine Hakim kepada Cinema XXI bermula saat per tanggal 20 Mei 2021 film Tjoet Nja’ Dhien diputar ulang di lima layar bioskop jaringan Cinema XXI. Yaitu bioskop Plaza Senayan (PS), Pondok Indah Mal (PIM), TransMall Cibubur, Blok M Square, dan Megamall Bekasi.
Dua hari kemudian, karena ditimbang sambutan penonton film nasional atas film Tjoet Nja’ Dhien, dinilai baik, akhirnya mendapatkan tambahan dua layar di bioskop Bintaro XChange dan Karawaci Mall.
Seiring berjalannya hari, film Tjoet Nja’ Dhien yang juga sempat ditonton sejumlah tokoh politik, tamu VVIP dan VIP lainnya, akhirnya tersisa tiga layar penayangan. Yaitu di PS, Blok M Square dan PIM. Namun sayangnya, yang di PIM pun akhirnya harus diturunkan juga, meski sebenarnya, menurut Christine Hakim, raihan penontonnya masih baik.
“Saya yang turut menggalakkan kampanye pemerintah dalam hal ini Kemenparekraf dan Kementrian terkait, untuk kembali ke Bioskop kembali menonton film nasional, tetap diperlakukan tidak adil pembagian layarnya. Hanya karena ada film baru dari Hollywood yang mulai diputar per hari Rabu (26/5/2021) dan memakan empat sampai lima layar dalam satu bioskop. Yang setelah saya check langsung, isinya tidak lebih banyak dari penonton film Tjoet Nja’ Dhien, yang dalam satu layar bisa mencapai 25-30 penonton,” kata Christine Hakim mangkel.
Karenanya, dia sekaligus mengkritisi Program Pemerintah cq Kemenparekraf dan Kementrian terkait, yang menggaungkan kampanye kembali ke bioskop menonton film nasional, harusnya dipertegas dan diperjelas. Demi menempatkan film nasional sebagai prioritas utama dan pertama. Sehingga kedatangan penonton film nasional di masa pandemi, ke bioskop, tetap memprioritaskan film nasional sebagai goal-nya.
“Kalaupun film asing tetap diputar, jangan korbankan layar untuk film nasional, atas nama apapun,” tekan Christine Hakim.
Hal senada ditambahkan Erros Djarot yang menghimbau kepada pihak bioskop dalam hal ini Cinema XXI/ 21untuk ikut berpartisipasi dalam upaya membangkitkan film Indonesia.
“Dengan membukakan sedikit pintu kepada film nasional. Jangan film asing mendapatkan empat layar, sementara film nasional malah tidak disambut,” kata Erros Djarot.
Menurut Sandi Uno karya inspiratif seperti film Tjoet Nja’ Dhien patut mendapatkan sambutan, juga dukungan keberpihakan dari pihak jaringan bioskop kepada film nasional.
“Apalagi film ini dalam pembuatannya melibatkan lebih dari 1500 kru. Bahkan film ini mengalami persoalan keuangan. Banyak kru yang tidak dibayar waktu itu. Tapi hasilnya (menjadi) film epik, dengan meraih delapan Piala Citra dengan segala keterbatasannya. Saya ucapkan apresiasi atas film ini,” kata Sandi Uno.
Dia menambahkan, selaras dengan gerakan kembali ke bioskop yang dicanangkan pemerintah, Yaitu kampanye “Ayo kembali ke bioskop,” dia kembali meminta pemilik usaha bioskop untuk turut memberikan keberpihakannya kepada peredaran film nasional.
“Karena puluhan ribu masyarakat yang bergantung pada industri film nasional. Makanya, keperpihakan pemerintah juga harus sejalan dengan semangat kemajuan industri film Indonesia,” kata Sandi Uno.
Sandi menerangkan, dukungan Program Ekonomi Nasional (PEN) sektor Kemenparekraf mewujud dalam tiga bentuk. Yaitu kampanye film Indonesia, mendorong jumlah penonton, dan produksi film yang akan dipilih pembiayaannya oleh Dewan Film dan Kurator. “Untuk kampanye menonton film Indonesia, dengan cara bay one get one free,” katanya. [Suara Merdeka/bb]