WARTABUANA – Majelis Hakim PN Jakarta Timur menjatuhkan vonis 8 bulan penjara kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam perkara kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat. Untuk perkara kerumunan di Megamendung, Bogor, tokoh agama dengan banyak pengikut itu hanya divonis denda Rp 20 juta subsider 5 bulan kurungan.
Sidang dengan agenda pembacaan vonis digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (27/5/2021). Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut agar hakim memvonis Habib Rizieq 2 tahun penjara. Dengan vonis 8 bulan penjara dikurangi masa tahanan, HRS akan bebas pada bulan Juli 2021.
Atas putusan itu, tim kuasa hukum eks Imam Besar FPI itu masih pikir-pikir. Menurut tim pengacara yang diwakili Aziz yanuar, HRS bersama 5 terdakwa lainnya tidak patut divonis penjara lantaran menurutnya apa yang dilakukan oleh kliennya itu bukan sebuah kejahatan. “Kami masih menganggap bahwa yang dilakukan Habib Rizieq dan kawan-kawan bukan suatu kejahatan,” paparnya.
Putusan hakim itu melahirkan banyak pendapat, salah satunya pengamat politik dari Netfid (Network for Indonesia Democratic Society), Dahliah Umar yang menganggap, pimpinan FPI itu masih punya pengaruh politik, terutama menyangkut kepentingan politik identitas, menjelang tahun Pemilu 2024.
Namun Dahliah melihat besar kecilnya pengaruh HRS tergantung pada isu yang bisa mengerahkan massa dalam jumlah banyak, mengingat FPI berbasis kekuatan massa. “Selama tidak ada pengumpulan massa dan tidak ada isu yang kemudian mampu untuk menggerakkan massa, menurut saya akan semakin mengecil pengaruhnya,” ujar Dahlia.

Pengamat politik dari Netfid (Network for Indonesia Democratic Society), Dahliah Umar, menyatakan walaupun FPI sudah dibubarkan dan Rizieq Shihab menghadapi proses hukum di pengadilan, pengaruhnya belum habis mengingat masih punya banyak loyalis dan itu bisa digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik terkait politik identitas jelang Pemilu 2024.
Namun itu semua tergantung pada pola gerakannya, jadi tidak akan signifikan selama tidak ada pengerahan massa atau tidak ada isu yang menggerakkan massa.
“Kalau kita lihat figur-figur yang kemudian dipenjara sebenarnya masih bisa menyampaikan pesan-pesan melalui media sosial yang dikelola pendukungnya. Dia bisa bermain di media sosial, tetapi karena FPI ini kekuatan massa, selama tidak ada pengumpulan massa dan tidak ada isu yang kemudian mampu untuk menggerakkan massa, menurut saya akan semakin mengecil pengaruhnya. Apalagi sekarang perpolitikan yang dulu terpolarisasi sudah menyatu dalam koalisi pemerintahan,” kata Dahliah.
Namun, lanjut dia, walaupun di koalisi pemerintahan untuk mengurangi polarisasi itu diusahakan oleh elit politik, tidak kemudian membuat akar rumput itu menyatu juga. Ini yang membuat HRS masih punya pengaruh.
“Jadi politik identitas itu selesai di elit, tapi tidak selesai di bawah. Itulah kenapa kemudian Habib Rizieq ini walaupun nanti dia divonis atau dipenjara, tetapi pengikut setianya ada dan mereka akan semakin sulit untuk dikontrol karena FPI-nya bubar. Jadi ada organisasi yang massanya besar, dibubarkan, tapi secara ideologi kan mereka tidak hilang,” lanjut Dahliah.

Menurut Dahliah, setelah FPI dibubarkan, negara juga harus memikirkan apa yang akan dilakukan terhadap para pengikut HRS. Negara harus mengikuti terus bagaimana, apa saja yang dilakukan oleh pendukung HRS di FPI ini, dan kemudian tidak boleh melabeli bahwa semua pengikutnya itu berpotensi sebagai ancaman negara.
Maka, dengan adanya eksponen-eksponen eks FPI yang membentu organisasi baru, Dahliah menyarankan agar tidak dilarang, apalagi kalau mereka kemudian dilihat sebagai kelompok yang lebih mengarah ke kemaslahatan.
Sementara itu Sugito Atmo Prawiro, salah satu pengacara HRS, kliennya berkukuh tetap akan berpolitik dan bersikap oposisi terhadap pemerintah. “Sikap politik itu dilindungi undang-undang, jadi tidak ada yang berhak menghalangi. Sikap politik dia akan dicarikan momentum yang tepat, ketika dia sudah di luar (penjara),” ujar Sugito Atmo Prawiro.

Namun diakuinya, saat ini gerak-gerik kliennya dibatasi, dikontrol, dan diatur, sehingga kesulitan untuk menyuarakan sikap politiknya. “Kecuali kalau nanti dia sudah bebas,” ujarnya.
Menurutnya, HRS merupakan pendukung “tokoh tertentu” terkait Pemilu Presiden 2024. Kenyataan ini pula yang disebutnya membuat kliennya diperkarakan secara hukum. “Dia dianggap berpotensi untuk menjadi vote-getter bagi pemilih pemula atau umat Islam, juga bisa mengkhawatirkan,” katanya.
Sugito mengaku apa yang dialami kliennya saat ini menyebabkan kekuatannya sebagai oposisi menjadi “dibungkam”. “Dan akhirnya pendukungnya bersikap dalam diam. Bukan berarti tidak bersikap. Kalau nanti ada pilpres, atau kegiatan politik, ketika ada momentum tertentu, pasti akan bersikap. Sekarang diam dalam ketakutan, karena kekuatan sekarang sangat represif terhadap yang berbeda pendapat,” jelas Sugito.[]