WARTABUANA – Para pelaku sejarah yang ikut membidani lahirnya Golongan Karya –kini menjadi Partai Golkar— merasa harus ada perbaikan hubungan antara partai berlambang Pohon Beringin itu dengan ormas-ormas pendirinya, salah satunya Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Jika tidak, Golkar akan rugi besar.
Sejarah mencatat, kelahiran Golkar dimulai dari terbentuknya Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pada 20 Oktober 1964. Dari 291 organisasi pendukung, akhirnya dikelompokkan ke dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO).
Kini tersisa tiga organisasi yang masih eksis sebagai Ormas pendiri Partai Golkar, seperti SOKSI, Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Terkait hubungan antara Golkar dan ketiga ormas tesebut, Wakil Ketua Dewan Kehormatan SOKSI Drs. FMT. Radjagukguk memiliki catatan sendiri. Menurutnya, pada tahun 1964 banyak ormas bergabung di dalam skretariat bersama (Sekber Golkar). Salah satunya SOKSI.
Hubungan SOKSI dan Golkar menurut Radjagukguk memang sangat kuat. Karena keberadaan SOKSI sebagai satu organisasi yang mencakup dan meliputi berbagai bidang kekaryaan itu sangat terkait di dalam kebesaran Golkar.
“Ibarat seorang anak yang dilahirkan ini harus merangkak dulu, berdiri, berjalan dan menjadi organisasi yang besar, kuat dan berprestasi bagi bangsa dan negara. Jadi SOKSI sangat berkepentingan GOLKAR menjadi Besar sehingga SOKSI juga akan Besar pula. Untuk itu Golkar sebagai organisasi sosial politik wajib mengakomodir semua aspirasi dan harapan SOKSI,” papar Radjagukguk kepada wartabuana.com.
“Waktu itu Kami merumuskan, bahwa hubungan Golkar dan SOKSI itu adalah Simbiose Mutualistik, saling ketergantungan, sehingga Golkar besar membuat SOKSI besar,” ungkap Radjagukguk.
Namun dalam perjalannya, Radjagukguk melihat ada dinamika yang menjadi tantangan untuk Golkar, salah satunya dalam pola rekrutmen dan kaderisasi.
“Faktanya, nah itu poros dinamika ini menjadi tantangan buat Golkar, dulu cara rekrutmen personal di Golkar ini melalui individual dan organisasi. Sekarang ini harus jelas, Golkar ini sumber kadernya dari mana? Kan tentu dari anggota, anggotanya ini siapa? Kan ormas-ormas ini? Ada keanggotaan yang bersifat organisasi dan ada keanggotaan yang bersifat individual, perorangan. Cuma mekanisme ini di lapangan kurang berjalan dengan baik. Misalnya struktur organisasi kan ada DPP, ada DPD 1, DPD2, kecamatan dan desa. Nah ini yang kita lihat konsistensi rekrutment keanggotaan Golkar belum mantap. Nah, ini harusnya, kalau diberi peran kepada ormas-ormas pendiri Golkar, harus ada kejelasan penugasannya seperti apa? Dan hubungannya seperti apa?,” papar Wakil Ketua DPD Golkar DKI Jakarta periode 1988 – 1993 ini.
Radjagukguk juga menyoroti tentang regulasi kepemimpinan di Golkar yang dianggapnya tidak jelas. “Sekarang jadi pimpinan, besok-besok dia musuhin Golkar. Seperti tidak ada sistem. Kalau dulu jelas, ada jalur ABRI, Birokrat dan Jalur Ormas. Sehingga bermainnya jelas, pola rekrutmentnya jelas. Dari tiga komponen itulah dimunculkan kader-kader yang akan dimajukan dan ditempatkan baik di DPR, eksekutif, yudikatif dan posisi lainnya,” ujarnya.
Anggota DPRD DKI Jakarta periode 1971 – 1982 dan DPR periode 1982 – 1998 ini, pernah menulis tesis tentang Golkar pada tahun 1971. “Saat itu sudah saya prediksi bahwa Golkar ini memang harus membuat ormas pendirinya kuat, sehingga ormas ini mampu memberikan dorongan sehingga Golkar bertambah kuat. Jangan malah saling menginjak,” ungkapnya.
Lebih jauh Radjagukguk menggarisbawahi nampaknya ada sebagian orang dari Golkar saat ini yang kurang memahami hubungan hubungan itu. “Maaf saja, jadi kita melihat bahwa siapa yang tampil kepermukaan itu mekanismenya belum jelas benar. Jadi itu sepertinya situasional. Kadang-kadang rekam jejak orang tersebut di Golkar kita tidak tahu, tiba-tiba sudah jadi pemimpin. Sehingga keberadaan orang tersebut tidak mengakar di Golkar,” ungkap Radjagukguk.
Kondisi tersebut, menurut Sekjen Depinas SOKSI Periode 2005-2010 ini memaksa Golkar harus melakukan konsolidasi, terutama memberikan perhatian kepada ormas-ormas pendiri Golkar.
“Kedua belah pihak, harus aktif melakukan konsolidasi, karena kita berpedoman kepada sifat hubungan yang simbiose mutualistik yang saling ketergantungan. Hubungan saling ketergantungan itu itu harus nyata dalam operasional mikro di dalam masyarakat, Harus bersama menjaga, merawat dan membesarkan. Namun belakangan ini SOKSI merasa karakter hubungan saling ketergantungan itu sangat kurang. Sehingga orang main lompat secara individual saja dan Ormas pendiri justru Kurang diakomodir; Jika Golkar acuhkan SOKSI dengan tidak mengakomodasi kekuatan-kekuatan ini, ya Golkar sendiri yang akan rugi,” tegas Radjagukguk.
Apa yang dialami Golkar selama ini bisa menjadi bukti, Publik sudah melihat perpecahan yang terjadi di Golkar seperti munculnya Hanura, Nasdem dan Gerindra. apakah partai yang saat ini dipimpin Airlangga Hartarto itu semakin besar, semakin solid atau tidak?
“Boleh di bilang Golkar yang terpecah kini tinggal puing-puingnya saja. Jika puing-puing ini tidak diurus, Golkar tidak hanya rugi, tapi bisa hilang jejaknya bahkan bisa musnah. Golkar tidak boleh mematikan SOKSI. Tapi kalau Golkar tidak memberikan ruang dengan mengakomodasi kekuatan-kekuatan ini, ya Golkar sendiri yang akan rugi besar. Kalau dia mematikan SOKSI, yang bunuh diri namanya. Kebesaran Golkar harus menjadi kebesaran SOKSI, dan sebaliknya, kebesaran SOKSI harus menjadi kebesaran Golkar,” tegas Radjagukguk.
Mantan Anggota DPR yang pernah satu komisi dengan MEGAWATI SUKARNOPUTRI ketika menjadi Wakil Ketua Komisi IV DPR ini berharap, di usia ke-61 ini SOKSI juga harus melakukan konsolidasi kedalam organisasi dari tingkat desa sampai ke tingkat pusat. “Apapun yang terjadi saat ini, jika Golkar sakit, SOKSI juga ikut merasakan sakit. Dan jika Golkar kuat, SOKSI juga harus kuat. Biarlah teman-teman yang muda-muda ini baik di SOKSI maupun di Golkar mempunyai pijakan yang kuat di masyarakat, jangan kosong melompong. []