Oleh : J. Kristiadi
HARI Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan, mungkin lebih tepat disebut hari kemenangan sejati. Berkat ibadat ritual akbar shiyam Ramadhan selama sebulan, para mukmin (orang beriman) berhasil menaklukkan musuh utama manusia yang secara kodrati bersemayam dalam diri manusia : marah, aluamah (nafsu sekitar perut, makan minum, sex) dan supiyah ( sombong, tamak, dan angkuh) dan lain sebagainya. Mereka kembali ke fitrahnya menjadi suci kembali, setelah mendapat karunia melimpah dari Allah selama sebulan bermati raga. Api karunia puasa telah membakar dosa-dosa manusia menjadi remah-remah yang dibuang di tempat sampah.
Medan pertempuran adalah keseluruhan dari badan (wadag), jiwa serta ruh manusia. Tidak mudah mencapai kemenangan karena yang dilawan adalah nafsu yang menyajikan kenikmatan badaniah. Perlu laku matiraga dengan semangat jihad disertai olah batin, olah rasa serta olah jiwa agar ruh dalam dirinya dapat membendung kecenderungan memeluk kenikmatan ragawi.
Kemenangan itu juga menunjukkan para mukmin telah berdaulat terhadap dirinya sendiri, dan berkat kuasa puasa, mereka mampu menyatukan ruh dengan wadag yang mengakibatkan manusia tidak terbebani tarikan nafsu badaniah karena raga dikendalikan sepenuhnya oleh ruh kebaikan. Dalam bahasa budayawan Emha Ainun Najib disebut sukmo nguntal rogo (Ruh menelan raga). Pengalaman iman atas kejayaan berkat kerahiman Allah yang tanpa batas, perlu disimpan dalam khazanah jiwa, karena akan sangat bermanfaat menjadi tuntunan, rujukan, bahkan kekuatan dahsyat menghadapi berbagai macam cobaan hidup di dunia yang seringkali amat berat.
Perwujudan merayakan kemenangan sejati dilakukan antara lain dengan mudik lebaran; secara harafiah maknanya sekedar pulang kampung. Namun dalam perspektif spiritual, mudik adalah metafora asal usul manusia berada di dunia sampai kehidupanya berakhir, kembali kepada Sang Pencipta. Dalam jagat pakeliran disebut “sangkan paraning dumadi”. Mudik tidak boleh dianggap sekedar tengok kampung karena bermuatan spiritualitas yang menjadikan mudik bernuansa sakral.
Sehingga tidak mengherankan para pemudik seringkali nekad melanggar aturan, terkadang brutal bahkan menyabung nyawa, demi mengikuti sensasi mistis serta daya grafitasi relasi magis mereka dengan asal muasal leluhur dan tanah kelahirannya. Kegelisahan menusuk-nusuk jiwanya sehingga mudik dirasakan sebagai keniscayaan. Meskipun gairah mudik juga dipicu rindu romantika masa muda, serta ingin unjuk bangga kepada tetangga hidupnya sukses di perantauan.
Pemerintah nampaknya sangat menyadari dimensi spiritual serta romantika sensasi mudik yang mendorong para pemudik sangat antusias pulang kampung, di tengah amukan pandemi Covid 19. Namun pemerintah, berkewajiban dan bertanggung jawab menjamin keselamatan dan rasa aman masyarakat dari berbagai ancaman, khususnya pandemi Civid 19.
Menghadapi dualitas tarik menarik antara keniscayaan pemudik pulang kampung dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia, Pemerintah berusaha keras menyusun kebijakan berdimensi rasional, namun mengakomodasi niat luhur laku spiritual para pemudik kembali ke asal. Kebijakan jalan tengah adalah keniscayaan karena mengutamakan yang satu akan angat membahayakan yang lain. Dalam perpektif ekonomi, kebijakan ini juga diharapkan dapat menjadi bagian proses pemulihan ekonomi nasional. Pilihan kebijakan ini oleh beberapa kalalangan dianggap mandul, tidak tegas, setengah-setengah, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengalaman sekitar dua tahun menangani Pandemi Covid 19, Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang komprehensif untuk menjamin rasa aman masyarakat serta mengamankan kepentingan nasional pada umumnya. Pertama, edukasi dan literasi masyarakat. Agenda ini terutama untuk mengantisipasi wabah pandemi yang belum diketahui kapan berakhir. Pengalaman dua tahun menangani pandemi, searif apapun kebijakan, bahkan dengan tujuan yang sangat mulia, menyelamatkan rakyat; tanpa disertai edukasi dan literasi yang mampu memikat dan merebut hati rakyat, hanya berhenti pada norma dan kalimat yang muluk-muluk. Terlebih kalau kebijakan tersebut bersentuhan dengan isyu-isyu sensitif, khususnya tradisi dan religi. Pemerintah perlu lebih intensif mengajak para tokoh masyarakat berbagai kalangan, budayawan, seniman serta masyarakat sipil, mulai dari Pusat sampai Daerah, melakukan literasi dan edukasi secara kolosal sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Kedua, meyusun strategi kemanan nasional yang komprehensif. Agenda ini sangat penting karena menjadi strategi negara dan bangsa Indonesia mengamankan kepentingan nasional, khususnya menjamin rasa aman masyarakat dari ancaman alam maupun non-alam.Sejauh ini negara belum memperlihatkan keseriusannya. Isyu keamanan nasional sudah puluhan tahun hanya berhenti sampai wacana dan menjadi keprihatinan masyarakat sipil.
Bahkan UU/2002 tentang Pertahanan Negara pasal 3 ayat 2 yang secara imperative menegaskan pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan; namun kebijakan pengadaan Alusisita (Alat dan Sistem Kesenjataan), belum fokus kepada penguatan matra laut dan udara sebagai garda depan pertahanan sesuai dengan regulasi. Semoga pengalaman menangani Pandemi Covid 19 menggugah negara segera menyusun regulasi tentang kemanan nasional yang sangat penting demi keselamatan bangsa dan negara. []
Sumber: Kompas/ Kamis 20 Mei 2021