ROMA – Rumah sakit khusus penyakit menular Spallanzani di Roma, salah satu rumah sakit penelitian utama di ibu kota Italia, pada Jumat (26/3) mengumumkan bahwa pihaknya akan mulai menguji vaksin Sputnik V Rusia awal bulan depan untuk melihat keefektifannya terhadap varian virus corona yang paling agresif.
Vaksin Sputnik V tidak disetujui untuk digunakan di Italia, meski sejumlah pejabat Rusia sebelumnya pada bulan ini mengumumkan bahwa mereka akan mulai memproduksi vaksin tersebut di Italia sebelum pertengahan tahun.
Penelitian di Rumah Sakit Spallanzani, yang akan dilakukan bersama dengan Pusat Penelitian Epidemiologi dan Mikrobiologi Nasional Gamaleya Rusia, dirancang untuk mengevaluasi efektivitas vaksin itu terhadap varian-varian virus yang pertama kali ditemukan di Brasil, Inggris, dan Afrika Selatan. Penelitian ini juga akan menentukan apakah vaksin Sputnik V dapat berfungsi sebagai “pendukung” bagi mereka yang telah divaksinasi dengan vaksin berbasis model molekuler serupa, seperti vaksin AstraZeneca.
Tidak ada jadwal resmi untuk menyelesaikan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Spallanzani.
Peluncuran vaksin virus corona di Italia, yang dimulai pada Desember tahun lalu, terganggu oleh kurangnya pasokan pengiriman dan kekhawatiran terkait dampak vaksin terhadap kesehatan. Sebelumnya pada bulan ini, penggunaan vaksin AstraZeneca ditangguhkan selama empat hari karena khawatir dapat menyebabkan pembekuan darah pada beberapa orang.
Hingga Jumat, hampir 9 juta orang di Italia telah menerima setidaknya satu dosis vaksin, sementara 2,85 juta lainnya telah menjalani vaksinasi lengkap usai menerima dua dosis vaksin.
Selain vaksin buatan AstraZeneca, vaksin dari Pfizer dan BioNTech serta vaksin dari Moderna telah disetujui untuk digunakan di Italia, dengan vaksin suntikan tunggal dari produsen obat Amerika Serikat Johnson & Johnson hampir disetujui untuk digunakan di negara tersebut.
Sementara itu, 267 kandidat vaksin, dengan 83 di antaranya dalam tahap uji klinis, masih dikembangkan di berbagai negara, termasuk Jerman, Italia, China, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat, menurut data yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 23 Maret. [Xinhua]