WARTABUANA – Amerika Serikat (AS) meluncurkan sebuah inisiatif baru untuk mempelajari efek jangka panjang dari infeksi SARS-CoV-2, serta cara untuk mencegah dan mengobati orang yang sakit karena COVID-19, namun tidak sembuh sepenuhnya dalam jangka waktu yang lama.
Inisiatif tersebut, diumumkan oleh Institut Kesehatan Nasional (National Institutes of Health/NIH) AS pada Selasa (23/2), bertujuan untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana SARS-CoV-2 dapat menyebabkan gejala yang meluas dan berkepanjangan, serta untuk mengembangkan cara guna mengobati atau mencegah kondisi ini.
Sejumlah besar pasien yang telah terinfeksi SARS-CoV-2 terus mengalami konstelasi gejala bahkan setelah sekian lama dinyatakan pulih dari tahap awal penyakit COVID-19.
Sering disebut dengan istilah “Long COVID”, gejala ini, yang dapat meliputi kelelahan, sesak napas, “kabut otak” atau brain fog, gangguan tidur, demam, gejala gastrointestinal, kecemasan, dan depresi, dapat berlangsung selama berbulan-bulan dan dapat berkisar dari ringan hingga melumpuhkan, papar NIH.
Dalam beberapa kasus, gejala-gejala baru muncul setelah masa infeksi atau berkembang seiring waktu.
“Meski masih didefinisikan, efek ini secara kolektif dapat disebut sebagai gejala sisa pascainfeksi akut SARS-CoV-2,” kata Direktur NIH Francis Collins.
“Kami belum mengetahui seberapa besar masalahnya, namun mengingat jumlah individu dari segala usia yang sudah atau mungkin akan terinfeksi SARS-CoV-2, coronavirus penyebab COVID-19, dampaknya pada kesehatan masyarakat bisa sangat besar,” kata Collins.
Studi baru ini akan berusaha menjawab beberapa pertanyaan seperti jumlah orang yang terus mengalami gejala COVID-19 pascainfeksi akut SARS-CoV-2; penyebab biologis yang mendasari gejala yang berkepanjangan tersebut; mengapa beberapa orang rentan terhadap kondisi ini, tetapi yang lainnya tidak; dan apakah infeksi SARS-CoV-2 dapat memicu perubahan dalam tubuh yang bisa meningkatkan risiko penyakit lainnya.
“Melalui inisiatif ini, kami bertujuan untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana SARS-CoV-2 dapat menyebabkan gejala yang meluas dan berkepanjangan, serta untuk mengembangkan cara mengobati atau mencegah kondisi ini,” ujar Collins.
Hasil dari studi global terbesar mengenai “sindrom Long COVID”, yang dilaporkan pada Januari lalu, menunjukkan hampir separuh dari 3.700 lebih orang yang melaporkan diri sebagai “Long Haulers” COVID atau penderita COVID-19 jangka panjang di 56 negara tidak dapat bekerja penuh waktu selama enam bulan setelah secara tak terduga mengembangkan gejala COVID-19 yang berkepanjangan.
Sebagian kecil responden tampaknya berhasil sembuh dari serangan singkat Long COVID. Meski demikian, waktu akan menunjukkan apakah mereka benar-benar sudah pulih sepenuhnya, tutur NIH. [Xinhua]