WARTABUANA – Narasi “diplomasi jebakan utang” China hanyalah kebohongan yang ampuh dan disampaikan dengan baik, serta menggambarkan China dan negara-negara berkembang yang bermitra dengannya secara keliru, tulis dua akademisi asal Amerika Serikat (AS).
Pemerintahan AS sebelumnya membesar-besarkan kekeliruan “diplomasi jebakan utang”, yang menjadikan Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka sebagai contoh utama untuk memperingatkan penggunaan strategi utang China, menurut artikel yang ditulis bersama oleh Deborah Brautigam, profesor ekonomi politik internasional di Universitas Johns Hopkins, dan Meg Rithmire, lektor kepala di Harvard Business School.
Sebaliknya, studi yang dilakukan oleh kedua penulis itu menunjukkan bahwa para pemberi pinjaman asal China bersedia merestrukturisasi persyaratan pinjaman yang ada dan tidak pernah melakukan penyitaan aset dari negara manapun, terlebih lagi Pelabuhan Hambantota, menurut sebuah artikel yang dipublikasikan di media cetak The Atlantic pada Sabtu (6/2), yang mengklarifikasi latar belakang dan lini masa proyek Pelabuhan Hambantota.
Berbekal laporan kelayakan yang dikembangkan oleh perusahaan teknik asal Denmark, Ramboll, pada 2006, pemerintah Sri Lanka telah mendekati AS dan India untuk pendanaan proyek itu, namun ditolak oleh kedua negara tersebut.
Pada 2007, dengan upaya lobi yang gigih dari China Harbour Engineering Company, Export-Import Bank of China menawarkan pinjaman komersial sebesar lebih dari 300 juta dolar AS (1 dolar AS = Rp14.000) selama 15 tahun untuk pendanaan proyek itu, dan memenangi kontrak tersebut. Saat itu, perang sipil berkepanjangan di Sri Lanka masih berlangsung.
Saliya Wickramasuriya, mantan kepala Otoritas Pelabuhan Sri Lanka, mengatakan bahwa “mendapatkan pinjaman komersial sebesar 300 juta dolar AS selama perang bukanlah hal yang mudah,” seperti dilansir oleh kedua penulis.
Selain itu, tidak pernah ada gagal bayar utang (default) seperti yang dikatakan rumor, menurut kedua penulis tersebut, meskipun pelabuhan itu mengalami kerugian pada 2014. Sebenarnya, “Kolombo mengatur dana talangan (bailout) dari Dana Moneter Internasional (IMF), dan memutuskan untuk mengumpulkan dolar-dolar yang dibutuhkan dengan menyewakan Pelabuhan Hambantota yang berkinerja buruk kepada sebuah perusahaan yang berpengalaman,” papar kedua penulis tersebut.
Sri Lanka memilih China Merchants Port Holdings, menjadikan perusahaan itu sebagai pemegang saham mayoritas dengan periode sewa selama 99 tahun, dan menggunakan suntikan dana sebesar 1,12 miliar dolar AS untuk meningkatkan cadangan devisanya, bukan untuk melunasi utang, menurut artikel itu.
“Dengan adanya pemerintahan baru di Washington, (pengungkapan) kebenaran mengenai kasus Pelabuhan Hambantota yang telah disalahpahami secara luas, yang mungkin disengaja, sudah lama tertunda,” tulis mereka.
Selain itu, sisi lain dari mitos jebakan utang itu adalah negara-negara peminjam juga merasa tersinggung oleh narasi yang menyebutkan bahwa mereka dapat dibujuk dengan mudah. Berbicara kepada salah satu penulis yang meminta namanya tidak disebutkan, seorang politisi Malaysia bertanya-tanya apakah Departemen Luar Negeri AS dapat mengetahui perbedaan antara retorika kampanye melawan oposisi dan kebenaran.
Peristiwa yang terkait dengan pelabuhan di Sri Lanka itu menunjukkan bagaimana dunia ini berubah, ujar kedua akademisi tersebut. “China dan negara-negara lainnya semakin canggih dalam hal tawar-menawar di antara mereka. Dan, akan memalukan jika AS gagal belajar bersama mereka.” [Xinhua]