WARTABUANA – Tahukah Anda bahwa Karya Seni Rupa Film (baca : Tata Artistik Film) menjadi bagian penting dari sebuah gagasan kolektif audio visual. Abstraksi (penyampaian gagasan) film memiliki nilai seni tersendiri sebagai karya yang dikerjakan oleh tenaga kreatif profesional.
Film sebagai alat mencurahkan ekspresi merupakan hasil proses kreatif dari berbagai unsur seni; musik, suara, teater (peran), seni rupa, serta teknologi dengan kekuatan “bahasa gambar” sebagai bentuk visualisasinya.
Namun apresiasi bagi kreator yang concern terhadap “rupa film” tak sebesar perhatian pada aktor, aktris, sutradara, atau bidang lain dari kerja film. Padahal karya artistik film dalam bentuk, set, property, kostum dan lainnya, bukan sekedar ditempatkan sebagai produk pendukung visual sinema.
“Melainkan dapat dijadikan literatur dan wacana sejarah budaya bangsa, sebagai teks budaya atau dokumen sosial,” ujar aktor film Eddie Karsito saat mengunjungi kediaman Penata Artistik Film, Sugasa A. Syamsyi, di kampung Cisaat, Sukabumi, Rabu (27/01/2021).
Kehadiran Eddie Karsito di kampung Cisaat, dalam rangka sosialisasi program OVOS : One Village One Story yang akan diselenggarakan Yayasan Duta Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia (YDPDKI), di Sukabumi, bulan Juni 2021 mendatang.
OVOS mengangkat kisah-kisah menarik tentang keunggulan, potensi dan keunikan budaya pedesaan. Menghidupkan seni tradisi Indonesia, sebagai nilai-nilai bela Negara yang dikembangkan dalam rangka pertahanan nasionalisme ke-Indonesia-an.
Turut hadir di acara tersebut, Tiwi Wartawani (Ketua Umum YDPDKI), Wiyono Undung Wasito (Penggiat Seni Wayang), Ronny Mepet (Sutradara), Vivi Misroyani (Unit Manager Film), Yudi Saputra (Penggiat Seni Teater), Edi Suryana (Entertainer), dan seniman lainnya.
Aktor Film Lebih Populis
Masyarakat — bahkan penggiat film sekalipun, kata Eddie, lebih mengenal nama-nama aktor atau sutradara berkelas (baca:populis). “Ketimbang nama-nama pengarah artistik film yang membawa film Indonesia memperoleh perhatian luas,” ujar penyandang gelar Pemeran Pembantu Pria Terpuji Festival Film Bandung (FFB) 2008 dalam film ’Maaf, Saya Menghamili Istri Anda’ sebagai Lamhot Simamora ini.
Masyarakat misalnya kurang mengenal Vida Sylvia Pasaribu, sebagai Pengarah Artistik Terbaik Festival Film Indonesia 2020, lewat film ‘Abracadabra.’ Film yang mendapatkan 9 nominasi dan memenangkan tiga penghargaan Piala Citra; Pengarah Artistik Terbaik, Penata Rias Terbaik, dan Penata Busana Terbaik.
Di ranah seni rupa film, masih ada Edy Wibowo, Penata Artistik Film ‘Kucumbu Tubuh Indahku.’ Film ini berhasil meraih delapan penghargaan dari dua belas nominasi di Festival Film Indonesia 2019. Atau Allan Sebastian, sebagai Penata Artistik Film Terbaik untuk film ‘Pengabdi Setan’ dan film ‘Guru Bangsa : Tjokroaminoto’.
Ada lagi Frans X.R. Paat penata artistik film (‘Virgin : Ketika Perawan Dipertanyakan’), Sumantri Jaliteng (‘Badai Laut Selatan’), Sapto Busono (‘Cinta Dalam Sepotong Roti’), dan Satari S.K. (‘Langitku Rumahku’).
Atau Penata Artistik Film Terbaik legendaris Benny Benhardi, yang kerap mendapat penghargaan lewat karya-karya film gemilang, antara lain melalui film; ’Tjoet Nja’ Dhien’, ‘Doea Tanda Mata’, ‘Ponirah Terpidana’, ‘Perempuan Dalam Pasungan’, ‘November 1828’, dan film ‘Ranjang Pengantin.’
Mempersoalkan seni rupa – karya artistik film, kata Eddie, adalah mempersoalkan bahasa ungkapan (idiom) seni rupa. “Lewat pendekatan seni rupa (artistik) film bisa dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bagi generasi muda. Tidak hanya aspek estetikanya, tetapi juga mampu menjadi ekspresi kultural multi dimensi,” ujar aktor film dan teater yang juga penggiat budaya ini.
Seniman Manejer Visioner
Pada saat yang sama, Sugasa A. Syamsyi, menyampaikan, pentingnya membangun karakter bangsa, dalam perspektif budaya Indonesia, melalui potensi keaneka-ragaman budaya dan nilai-nilai luhur bangsa (local wisdom and local knowledge).
“Kita membutuhkan seniman manejer yang visioner. Selain berkompeten pada bidangnya, juga mampu melakukan perubahan cepat, terarah, konsisten, dan mempunyai budaya organisasi yang kuat,” ujar seniman dan budayawan yang akrab disapa Abah Asep ini.
Wilayah Sukabumi, kata Asep, memiliki landasan historis dan sosiologis sebagai lokasi pembuatan film selama hampir setengah abad. Terlebih pada era tumbuhnya industri pertelevisian di tanah air di tahun 1990-an, banyak rumah produksi menggunakan lokasi shooting di kawasan Taman Selabintana, Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan sekitarnya.
Gagasan tentang perlunya wilayah Sukabumi sebagai kawasan pengembangan ekonomi kreatif, kata Asep, sangat mungkin. Mengingat Sukabumi sangat berpotensi, baik dari segi budaya, sumber daya manusia, maupun sumber daya alamnya.
Sebagai perupa film, Asep ingin mengkontruksi berbagai potensi dengan mengimplementasikan pengalamannya secara instalatif. Alam akan ia jadikan sebagai medium ekspresi untuk menata gagasan artistiknya — layaknya karya film sebagai media gambar yang hidup.
“Kita punya destinasi wisata Geopark Ciletuh dengan pesona alamnya yang istimewa. Kawasan yang menyerasikan keragaman geologi, hayati dan budaya melalui prinsip konservasi, edukasi dan pembangunan berkelanjutan,” ujar salah satu Pengurus Daerah Lembaga Ketahanan dan Pemajuan Budaya Indonesia (LKPBI) Kabupaten Sukabumi ini.
Selain itu, ada destinasi wisata Situ Gunung, di Desa Kadudampit, Kecamatan Cisaat. Wisata ini masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) yang berudara sejuk. Di lokasi ini dibangun Suspension Bridge, jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara.
Sukabumi juga menyimpan potensi alam lainnya serta budaya yang luar biasa. Ada banyak situs megalitik. Salah satunya situs megalitik Batu Kujang di kampung Tenjolaya Girang, desa Cisaat, kecamatan Cicurug.
“Setidaknya ada empat bentuk batu megalitik dengan berbagai keunikannya. Fenomena megalitik ini manifestasi gagasan kepercayaan terhadap pemujaan nenek moyang pada masanya, bagi masyarakat di lereng gunung Salak. Berbagai potensi inilah diharapkan dapat kami kelola dan optimalkan menjadi sumber inspirasi,” kata Asep.
Untuk merealisasikan gagasan besar di tingkat desa ini, kata Asep, kolaborasi seluruh komponen dan potensi masyarakat desa dan lembaga adat harus dilibatkan. “Gotong royong harus menjadi inti atau nilai paling hakiki dari falsafah hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila,” ujarnya.
Selain itu, kata Asep, Desa juga harus mampu mengemas kearifan lokal menjadi kontens menarik dengan memanfaatkan teknologi modern.
“Harus mampu mendokumentasi potensi desa secara kreatif dan modern dalam sistem data base yang terhubung. Mudah diakses dan komunikatif,” ujar Asep, yang tengah merencanakan memproduksi film layar lebar dengan cerita berbasis budaya lokal.[]