WARTABUANA – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menyadari situasi politik Indonesia hari ini jauh lebih baik dibanding dekade-dekade sebelumnya. Bisa dilihat dari majunya demokratisasi yang bergerak menuju konsolidasi, serta transparansi yang semakin jelas.
Tumbuhnya institusi-institusi pengawasan dan maraknya civil society yang aktif mendukung atau memberi kritik terhadap lembaga-lembaga politik, juga kian mempertegas ukuran akuntabilitas lembaga-lembaga politik di Indonesia. Namun di tengah kemajuan demokrasi itu, mengintai ancaman paling nyata bangsa Indonesia, yakni radikalisme.
Menurut Bamsoet, mereka seperti penumpang gelap dalam sistem demokrasi Indonesia. Dalam Pemilu langsung, khususnya di Pilpres kemarin mereka hampir saja berhasil menancapkan pengaruh dan membelah NKRI dengan isu agama dan ideologi terhadap calon tertentu.
Walaupun demikian, Indonesia masih terus dan tidak akan berhenti memenuhi tuntutan tujuan bernegara kita, yakni menjawab apakah institusi politik kita hari ini sudah mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah fungsi institusi politik kita mampu menciptakan kesejahteraan umum? Atau malah membuka pintu lebar-lebar bagi tumbuh dan berkembangnya paham radikalisme?
“Saya kira jawabannya akan menimbulkan beberapa opsi. Tapi paling tidak, Indonesia hingga hari ini sedang bergegas memperbaiki diri dalam rangka memenuhi tuntutan itu,” ujar Bamsoet saat menjadi narasumber focus group discussion ‘Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Meraih Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila’ yang diselenggarakan Aliansi Kebangsaan & Forum Rektor Indonesia, di Jakarta, Jumat (26/7/19).
Hadir menjadi narasumber FGD antara lain Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo; Ketua Forum Rektor Indonesia Prof. DR. Sofyan Anif, M.SI; Dr. Yudi Latif; Prof. Syarif Hidayat; Prof. Sofian Efendi; Prof. Airlangga Pribadi; Prof. Ravik Karsidi Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnarki dan Mayjen TNI (Purn) I Putu Sasto Wingarta.
Bendahara Umum DPP Partai Golkar 2014-2016 ini menjelaskan, sistem pemerintahan Indonesia menganut convergence of power, bukan sparation of power. Artinya, dalam skema itu, tiap lembaga politik di Indonesia sangat tergantung pada keutuhan sikap, yakni sinergisitas.
“Sinergitas antar lembaga adalah kunci cita-cita bangsa ini. Karenanya, kekuatan penyelenggaran negara harus dibina dari satu komitmen, yakni penghayatan terhadap Pancasila, yang ditopang oleh sikap saling percaya. Dan terpenting, bukan institusinya yang berperan, melainkan manusia di dalamnya,” tutur Bamsoet.
Berpayung pada Pancasila dan UUD 45, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini meyakini pembangunan ekonomi dan politik di Indonesia seharusnya menjadi lebih mudah terkonsolidasi. Pertama, setiap lembaga politik yang di dalamnya terdapat manusia-manusia unggul dituntut untuk memahami kelemahan dan kelebihan bangsa ini. Mereka adalah pancasilais sejati yang tidak akan tega memanfaatkan celah-celah kekayaan negara untuk kepentingan pribadi.
“Kedua, para birokrat negeri wajib meneladani arti penting kemanusiaan yang adil dan beradab demi mencapai pelayanan maksimal. Para birokrat, sebagai mesin penggerak pemerintahan, memahami arti penting asas akuntabilitas, proporsionalitas, dan profesionalitas. Jika tidak, maka lagi-lagi akan terjebak ke kondisi koruptif. Maka lembaga pelayanan harus eksis sesuai fungsinya,” papar Bamsoet.
Ketiga, lanjut Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini, sinergitas antar lembaga membentuk pola segitiga yang terkoordinasi. Yakni, menghubungkan penguasa, dunia usaha dan civil society. Sinergitas dalam pengaplikasian hubungan tersebut bukanlah tindakan hegemoni, tapi saling menopang dan memberi.
“Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, pemerintah dan lembaga perwakilan saling mendukung demi terciptanya dunia usaha sehat, yang pada akhirnya mengembangkan kesejahteraan,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menilai, cita-cita bangsa Indonesia menjadi negara maju di bidang ekonomi dengan mengutamakan prinsip berkeadilan dan kemanusian, sangat dapat diwujudkan dengan syarat mengubah paradigma diri menjadi manusia yang pancasilais. Karena sebagus apapun sistemnya, pribadi seseoranglah yang akan menjadi penentunya.
“Saya mengembalikan persoalan ini ke keinginan manusia, bukan pada sistem. Sistem akan berjalan dengan proporsional apabila dikerjakan dengan nurani yang baik,” pungkas Bamsoet. []