JAKARTA, WB – Sebanyak 10 penyair Indonesia dan Malaysia melakukan workshop di Sabah Malaysia, 21-24 April 2018. Mereka akan mengekspresikan dinamika turun naiknya persahabatan dan konflik dua negara dalam puisi esai.
Ajang tersebut jelas sebagai perkembangan baru yang segar dalam hubungan dua negara serumpun seperti Indonesia dan Malaysia. Civil society dua negara itu kembali merekat hubungan batin dua negara melalui para penyair masing masing negara.
“Puisi esai yang digagas Denny JA dari Indonesia sudah berkembang menjadi sastra diplomasi. Ini adalah pencapaian sastra tertinggi. Sastra tak hanya menjadi ekspresi perasaan sang penyair, tapi juga berfungsi menjadi sendi masyarakat Indonesia dan Malaysia,” ujar Dr. Rem Dambul, ilmuwan, yang juga kritikus sastra serta penyair Malaysia ini dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/4/2018).
Menurut Rem Dambul, hubungan dua negara tak hanya dilihat dalam wilayah politik dan ekonomi. Wilayah para politisi dan pengusaha. Hubungan dua negara juga menjadi wilayah budaya. Puisi esai bisa memberikan fungsi diplomasi.
Yang terlibat dalam program itu, dari penyair Indonesia: Dhenok Kristianti, De Kemalawati, Fanny Jonathan Poyk, Isbedy Stiawan ZS, Hari Mulyadi. Dari penyair Malaysia: Datuk Jasni Matlani, Siti Rahmah Ibrahim, Hasyuda Abadi, Abdul Karim Gullam, Jasni Yakub.
Program ini dipimpin oleh Fatin Hamama dan Datuk Jasni Matlani. Terlibat pula Ahmad Gaus, penulis yang banyak mengerti puisi esai yang memberikan panduan.
Sementara itu, Denny JA, selaku penggagas puisi esai mengaku tak menyangka akhirnya puisi esai melanglang buana. Setelah penyair Malaysia, penyair Thailand, Brunei dan Singapura bersiap pula menuliskan kisah batin dengan setting isu soal di negara masing masing. Denny pun menyambut baik pandangan Dr Rem Dambul yang melihat puisi esai kini sudah berkembang menjadi sastra diplomasi.
“Banyak kisah hubungan negara yang dituliskan dalam puisi esai itu. Ada kisah tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di Malaysia. Ada kisah soal klaim budaya Indonesia yang diakui milik Malaysia. Ada pula refleksi hubungan Indonesia Malaysia sejak konfrontasi era Soekarno,” tandas Denny JA.[]