JAKARTA – KPK memastikan suap di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengubah status laporan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kasus ini hendaknya menjadi jalan masuk bagi KPK memeriksa semua pemberian status WTP seluruh kementerian oleh BPK.
Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan bahwa suap yang diduga diberikan oleh Inspektur Jenderal di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Sugito kepada Auditor Utama BPK Rochmadi Saptogiri untuk mengubah status laporan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
“Ada pembicaraan awal, kejadiannya adalah minta agar ingin naik dari WDP jadi WTP, tolong dibantu, nanti ada sesuatu,” kata Agus saat konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Sabtu (27/5/2017).
Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon 3 Kemendes Jarot Budi Prabowo diduga memberikan suap Rp240 juta kepada auditor utama keuangan negara III BPK Rochmadi Saptogiri dan auditor BPK lain yaitu Ali Sadli.
Di ruangan Rochmadi juga ditemukan uang Rp1,145 miliar dan 3.000 dolar AS yang belum diketahui kaitannya dengan kasus tersebut.
Namun, KPK meyakini bila pihaknya mendapat alat bukti yang cukup maka akan ada tersangka lain dalam kasus ini. “Siapa yang terlibat? Sementara tersangka 4 orang. Kalau ada clue nanti dilanjutkan, dalam proses penyeldiikan,” tambah Agus.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif meyakini bahwa untuk sementara Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara tidak terlibat dalam kasus dugaan suap ini.
“Apakah ketua BPK terlibat? Untuk sementara ini kita tidak melihat keterlibatan ketua BPK, apakah dalam proses selanjutnya kelihatan nanti akan di-update, tapi sementara ketua BPK tidak terlibat,” ucap Syarif.
Seperti diketahui, laporan keuangan Kemendes PDTT pada 2015 mendapat opini WDP sedangkan pada 2014 mendapat “Disclaimer”.
KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu sebagai pemberi suap adalah Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon 3 Kemendes Jarot Budi Prabowo yang disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah den gan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo 64 kuhp jo pasal 55 ayat-1 ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak penerima suap adalah auditor utama keuangan negara III BPK Rochmadi Saptogiri yang merupakan pejabat eselon 1 dan auditor BPK Ali Sadli.
Keduanya disangkakan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 atau 5 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Setelah terbongkarnya praktek haram ini, Ketua BPK menyatakan status pemberian opini WTP di Kemedes PDTT bisa saja diubah berkaitan dengan adanya kasus dugaan suap untuk pemberian opini tersebut.
Moermahadi menyatakan, berubah atau tidaknya opini WTP itu akan menunggu hasil pemeriksaan apakah dalam proses pemberian opini sudah sesuai standar audit atau tidak. “Apakah opininya bisa akan berubah? Kami akan lihat nanti dari hasilnya,” kata Moermahadi.
Pada kasus dugaan suap tersebut, pihaknya belum mau menyimpulkan apakah proses pemberian opini WTP terhadap Kemendes PDTT telah sesuai standar audit atau tidak. Namun, proses pemberian opini itu menurut dia tentu sudah melalui sidang badan di BPK.
Adapun Menteri Desa PDTT, Eko Putro Sandjojo mempersilakan BPK melakukan audit ulang terhadap kementerian yang dipimpinnya. Hal itu disampaikan Eko sehubungan dengan adanya dugaan suap terkait pemberian opini WTP oleh BPK RI terhadap Kemendes PDTT.
Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai kasus tersebut merupakan bentuk korupsi sistemik puncak gunung es.
Menurut Abdul, hal ini terjadi karena masifnya korupsi yang terjadi dan diterima secara permisif oleh birokrasi. Adalah rahasia umum yang tak perlu dibuktikan bahwa untuk mendapatkan status WTP itu dengan membeli dari oknum-oknum BPK. “KPK pernah menangani kasus serupa. OTT Bupati Bekasi dan oknum BPK juga,” jelasnya.
Dikatakan Abdul, penanganan kasus ini hendaknya menjadi jalan masuk bagi KPK memeriksa semua pemberian status WTP seluruh kementrian oleh BPK. Disinyalir semua pemberian status WTP kepada kementrian atau lembaga negara non kementrian didapatkan dengan cara suap atau pemerasan.
“Sehingga menjadi tidak relevan penilaian kinerja kementerian atau Pemda didasarkan pada status WTP laporan keuangan. Dan yang terjadi adalah kepura-puraan dan pembohongan publik,” jelasnya.[]