JAKARTA, WB- Banyak rumah sakit di Jakarta menggunakan pihak ketiga dalam mengolah dan memusnahkan limbah medik padat B3. Padahal Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) saat ini tengah melakukan uji coba alat baru dengan tekhnologi microwave.
Salah satu distributor alat ini asal Perancis baru melakukan ujicoba selama tiga minggu di RSCM. “Kami sangat prihatin dengan kondisi pemusnahan limbah medik B3 dengan incenerator, bukannya menyelesaikan masalah malah menambah masalah, karena hasil pembakaran tersebut masih berupa B3 termasuk asap dari incenerator bisa membuat kanker,” ucap Amirudin Komisaris PT BM.
Alat microwave canggih ini sendiri telah mengantungi izin dari Laboratorium Kemenkes serta pihak-pihak terkait. “Alat kami mampu mengubah 1 ton limbah medik menjadi steril perharinya. Jadi saya rasa sudah saatnya rumah sakit bisa menggunakannya,” tambahnya.
Bahkan vaksin palsu yang saat ini ramai dipersoalkan dan meresahkan masyarakat juga karena botol-botol bekas dari rumah sakit tidak dimusnahkan, malah didaur ulang.
Sementara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta telah melakukan survei pada pengelolaan limbah padat B3 di beberapa rumah sakit di Jakarta. Survey itu mengungkapkan ratusan rumah sakit jakarta belum miliki izin pengolahan limbah B3.
Dalam survei juga terungkap jumlah limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit rata-rata 140 kg – 400 kg sampah medis per hari. Namun, limbah yang dihasilkan tidak bisa dikelola langsung oleh pihak rumah sakit. Pasalnya, dari sekian banyak rumah sakit di Jakarta, hanya dua rumah sakit yang telah memiliki izin pengelolaan limbah B3 sendiri.
“Yang kami ketahui hanya ada dua perusahaan yang mempunyai izin pengolahan limbah B3 salah satunya PT Java medika. Kalau pihak ketiga banyak. Bayangkan berapa banyak RS di Jakarta? Ratusan,” ungkap Puput TD Putra, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta.
Alhasil, dengan tidak adanya izin tersebut pihak rumah sakit harus menyerahkan pengelolaan limbah B3 ke perusahaan lain, atau disebut pihak ketiga. Puput mengatakan, pihak ketiga lah yang biasanya nakal membuang limbah B3 tanpa sesuai prosedur.
“Pihak ke tiga ini yang biasanya nakal membuang limbahnya, tidak pada prosedurnya. Karena ijin pengolahan B3 di Jakarta hanya dimiliki oleh beberapa saja,” katanya.
Nama-nama rumah sakit mana yang tidak menggunakan pihak ketiga dan tidak mengelola limbah sesuai prosedur masih belum dipublish oleh WALHI.
WAKHI Jakarta mengkhawatirkan percampuran limbah medis dan non medis, lalu langsung dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pembuangan limbah medis ke TPA, seperti botol infus, jarum suntik berbahaya karena bagi pemulung plastik limbah medis dianggap bisa didaur ulang.
Limbah infeksius sendiri bisa terdiri atas exkreta, spesimen laboratorium bekas balutan, jaringan busuk dan lain-lain. Limbah tajam, yang terdiri atas pecahan peralatan gelas seperti thermometer, jarum bekas dan alat suntik, limbah plastik, bekas kemasan obat dan barang, cairan infus, spuit sekali pakai/disposable perlak. Jenis-jenis limbah ini tidak dapat dibuang langsung ke TPA.
Pemusnahan sampah B3 dengan membakar bukanlah solusi yang tepat, bahkan sangat membahayakan kelangsungan kehidupan. Banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh incinerasi sampah dibandingkan manfaat yang dihasilkannya.
Secara kasat mata, volume reduksi yang dihasilkannya sangat menjanjikan, namun secara tidak kasat mata dan dapat dibuktikan secara kimiawi, hasil incinerasi menimbulkan banyak senyawa kimia sangat beracun.
Hasil emisi yang paling berbahaya pada pembakaran sampah heterogen ialah terbentuknya senyawa dioksin dan furan, sekelompok bahan kimia yang tidak berwarna dan tidak berbau.
Dalam molekulnya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan klor. Pembakaran mengeluarkan gas metan yang sangat berbahaya, mempengaruhi kualitas hujan (hujan asam).
Menurut WHO, beberapa jenis limbah rumah sakit dapat membawa risiko yang lebih besar terhadap kesehatan, yaitu limbah infeksius (15% s/d 25%) dari jumlah limbah rumah sakit. Diantara limbah¬limbah ini adalah limbah benda tajam (1%), limbah bagian tubuh (1%), limbah obat-obatan dan kimiawi (3%), limbah radioaktif dan racun atau termometer rusak.[]