JAKARTA, WB – Kesepakatan Presiden Joko Widodo dengan pimpinan DPR untuk menunda pembahasan Revisi UU KPK memang cukup memberi nafas segar. Namun, ditunda atau tidaknya masih tetap menunggu hasil rapat paripurna yang rencananya akan dilaksanakan besok, Rabu (24/2). Di sinilah keputusan sahih DPR yang sesungguhnya. Sekalipun begitu, keputusan presiden dengan DPR ini memberi sinyal kuat bahwa posisi presiden tidak sedang mendorong revisi UU KPK dengan versi yang seperti sekarang.
“Artinya, sekalipun besok DPR tetap mengetuk palu untuk menetapkan revisi UU KPK sebagai hak inisiatif DPR, itu akan kandas karena pihak eksekutif sudah memberi sinyal kuat tidak dalam posisi berkenan membahas revisi UU KPK. Dengan posisi ini, ada beberapa catatan yang bisa kita tuliskan,” ujar pengamat politik Ray Rangkuti lewat keterangannya, Jakarta, Selasa (23/3).
“Putusan ini, khususnya putusan akan posisi presiden, sekalipun cukup melegakan tapi terasa sangat lamban. Sejatinya, sejak mulai ramai diperbincangkan materi revisi yang berpotensi akan membunuh KPK, sejak itu presiden sudah memberi sinyal kuat akan menarik diri dari pembahasan,” sambung Ray yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) tersebut.
Jadi tidak perlu menunggu eskalasi penolakan yang membesar dan bahkan pada tingkat tertentu membuat gaduh. Kedua sambung Ray sinyal dari posisi presiden yang seolah ragu-ragu itu terbaca dari setidaknya dua menteri beliau. Yakni Menkoplhukam dan Menhukham yang berbicara seolah presiden dalam posisi siap untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR dengan versi seperti sekarang ini.
Ray menilai kurangnya kordinasi di antar menteri dan pembantu presiden memang seperti jadi persoalan tersendiri di dalam kabinet Jokowi. Baiknya ke depan Presiden memperbaiki hal ini agar masyarakat tidak dalam posisi yang serba menebak arah presiden. Ketiga tentu saja kita semua masih menunggu sikap jelas presiden atas poin-poin revisi seperti yang beredar saat ini. Sebab, kesepakatan presiden dengn pimpinan DPR hanya sebatas penundaan tapi belum tentu soal isi atau subtansi dari revisi sendiri.
Artinya, bila kelak suasana kondusif, presiden dan DPR berpotensi akan melanjutkan revisi dengan poin-poin yang sama. Padahal, perlu kiranya ditekankan bahwa prinsip penolakan publik atas revisi UU KPK bukanlah soal waktu yang kurang pas tapi soal subtansi dari revisinya yang dianggap akan melemahkan KPK bahkan, dalam pandangan saya, akan membunuh KPK.
“Dalam titik ini, baiknya presiden mengkomunikasikan pilihan-pilihan subtansial revisi UU KPK versi pemerintah. Keempat sebaiknya semua peristiwa rencana revisi dan beberapa peristiwa sebelumnya dapat jadi pelajaran bagi, khususnya, partai-partai pendukung pemerintah. Dalam beberapa kasus, partai-partai pemerintah justru berkesan menjadi pemicu lahirnya posisi sulit presiden. Dan sebaliknya, dalam kasus revisi ini, partai-partai non koalisi pemerintah yang seolah menjadi teman satu pandangan presiden.
Jangan sampai wibawa presiden justru terus menerus dipersulit dan diperlemah teman koalisinya. Sebaliknya teman koalisianya menjadi mitranya dalam isu-isu strategis yang berhadap-hadapan langsung dengan sikap masyarakat ini jelas politik yang aneh. Kelima Sekalipun dinyatakan ditunda, baiknya kita semua tetap siaga. Energi disimpan dan tentu terus menerus memantaunya. Sebab besok lusa tidak ada jaminan ambisi revisi yang melemahkan KPK akan muncul lagi.
“Kita semua tentu mengerti bahwa upaya ini bukan sekali dua kali tetapi sudah berulangkali. Bahkan upaya pelemahan KPK dilakukan juga dengan mengkriminalisasi baik unsur pimpinan hingga para penyidiknya. Artinya, para koruptor tak mengenal lelah dan bahkan istilah kalah dalam rangka melemahkan KPK ini. Dengan berbagai cara mereka lakukan. Maka kewajiban kita semualah yang menginginkan Indonesia ini brsih dari korupsi yang harus terus menerus jadi benteng penghalang keinginan memperlemah bahkan membunuh KPK. Jangan biarkan koruptor menang dan rezim yang sekarang jadi pintu bagi berjayanya kembali para koruptor,” pungkas Ray. []