WARTABUANA – Kebijakan pemerintah yang mengutip Rp 200 dari setiap liter BBM jenis premium yang dibeli masyarakat mengundang polemik. Pengamat ekonomi Sumatera Utara, Wahyu Pratomo, meminta pemerintah lebih terbuka dalam perhitungan harga BBM. Masyarakat perlu tahu “perjalanan” dan pemakaian uang mereka sejelas-jelasnya.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara itu, dalam beberapa kali penyesuaian harga BBM, masih terlihat ketidaktransparanan dan ketidakkonsistenan dalam penetapan harga.
Dia memberi contoh, harga BBM terakhir naik 1 Maret 2015 atau premium menjadi Rp7.300 dan solar Rp6.900 per liter, saat harga minyak mentah di pasar dunia sebesar 50 dolar Amerika Serikat per barel dan nilai tukar uang Rp13.000 per satu dolar Amerika Serikat.
Dengan harga minyak mentah dewasa ini yang lebih murah 22.5 persen berdasarkan MOPS Singapura, dan nilai tukar rupiah yang melemah 6,2 persen terhadap dolar Amerika Serikat dibandingkan kondisi Maret 2015, penurunan harga premium menjadi Rp7.150 per liter dinilai tidak proposional.
Hitungan harga BBM itu semakin dinilai tidak tepat. Menurut dia, karena dalam penetapan harga keekonomian premium (nanti) Rp6.950 seliter itu, masih ada tambahan pungutan dana ketahanan energi Rp200 perliter. Dijumlah, menjadi Rp7.150/liter sementara sekarang masih Rp7.400/liter.
“Kebijakan penurunan harga BBM, terkhusus premium yang hanya sebesar Rp150 perliter dan pungutan dana ketahanan energi sangat tidak tepat,” katanya.
Dia menegaskan, pungutan dana ketahanan energi tersebut yang menurut Menteri ESDM telah berdasarkan UU Nomor 30/2007 tentang Energi itu tidak tepat.
Alasan dia, dalam pasal 30 ayat (4) UU Nomor 30/2007 itu tertulis, ketentuan mengenai pendanaan (untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangan energi baru dan energi terbarukan) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sampai saat ini, belum ada satupun publikasi dan kampanye pengembangan energi baru hasil kerja instansi pemerintahan yang dibiayai dana dari pungutan ini, yang diumumkan kepada publik, lengkap dengan skema pendanaan dan pihak-pihak yang memakai dana itu.
Sampai saat ini pula, katanya, PP yang mengatur ketetapan besarnya pungutan dana ketahanan energi belum disusun dan Badan Pengelola Dana Ketahanan Energi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dana juga belum dibentuk. “Jadi, pungutan dana ketahanan energi belum memiliki landasan hukum,” katanya. []